Ada banyak orang yang beranggapan, mereka yang
memelihara rambut gondrong sebagai tipikal manusia yang tak mau diatur,
bebal, dan sering sekali disebut (maaf!) tidak mengenal sopan santun.
Tidak mengherankan, dalam film-film borjuis para penjahat digambarkan
dengan rambut gondrong, memakai kacamata hitam, dan bertatto.
Namun, jika ditilik secara historis, seluruh argumen di atas akan
segera berguguran. Sebagai missal, meminjam sejarawan Anthony Reid,
rambut gondrong sangat melekat dalam tradisi masyarakat Asia Tenggara,
termasuk nusantara saat itu, sebagai perlambang atau simbol kekuatan dan
kewibawaan seseorang.
Dalam masyarakat Indonesia, setelah masuknya pengaruh islam dan
barat, rambut mulai menjadi penanda seksualitas seseorang; laki-laki
identik dengan rambut pendek dan rapi, sedangkan perempuan berambut
panjang. Pemotongan rambut juga semakin dikaitkan dengan persoalan
agama, sesuatu yang membedakan dengan tradisi leluhur masyarakat
setempat yang dianggap belum beragama.
Selain peci dan pakaian rapi sebagai simbol aktivis pergerakan,
rambut gondrong pun pernah menjadi identitas para pemuda dalam
perjuangan revolusi Indonesia. Mulai dari jaman Jepang hingga masa-masa
revolusi fisik, para pemuda pejuang semakin identik rambut gondrong dan
seragam militer.
Oleh orang-orang Belanda, yang sudah terbiasa dengan rambut pendek
dan disisir rapi seperti umumnya penampilan orang Eropa saat itu, para
pemuda pejuang ini dilabeli cap “ekstremis”. Saat itu, terutama dari
para pemuda dan bekas “jago” yang merasa terpanggil oleh revolusi, para
pejuang semakin akrab dengan rambut panjang terurai, berseragam militer,
dan sebuah pistol yang tersemat di pinggang.
Salah satu saksi hidup dan pelaku sejarah saat itu, Francisca C.
Fanggidaej punya penggambaran sangat menarik soal itu. “Kota Yogya
mendidih dari semangat dan tekad juang pemuda. Pekik dan salam MERDEKA
memenuhi ruang udara kota. Jalan-jalan dikuasai pemuda: kebanyakan
berambut gondrong, mereka bersenjatakan pestol, senapang, brengun sampai
kelewang panjang Jepang, dan sudah tentu bambu-runcing. Kepala mereka
mereka ikat dengan kain merah …. Yah, semangat juang, rasa romantisme
dan kecenderungan kaum muda untuk berlagak dan bergaya bercampur dengan
sikap serius dan tenang dengan tekad pantang mundur yang terpancar dari
mata dan wajah mereka,” demikian ditulis Francisca Fanggidaej.
Ali Sastroamidjojo (1974:198) dalam otobiografinya menggambarkan
pemuda yang berambut gondrong dengan gayanya yang urakan sebagai
kekuatan revolusi di Yogyakarta pada awal tahun 1946.
Walaupun pernah menjadi simbol dari pemuda revolusioner, tetapi
Soekarno pernah dibuat “kesel” dengan gaya rambut gondrong ini, terutama
saat perjuangan melawan kebudayaan imperialis sedang memuncak. Karena
rambut gondrong semakin identik dengan “lifestyle” pemuda-pemuda barat,
maka Soekarno pun pernah memberi cap kepada mereka sebagai
“kontra-revolusioner”.
Setelah memasuki era rejim Soeharto, rambut gondrong semakin ditindas
dan divonis sebagai gaya yang bertentangan dengan kepribadian bangsa.
Pangkopkamtib Jenderal Sumitro telah berkata, bahwa rambut gondrong
membuat pemuda onverschillig, acuh tak acuh. Alhasil, sebagai
pelaksanaan petuah dari petinggi militer, gerakan anti-gondrong pun
mulai dikampanyekan di segala lini kehidupan.
Di sejumlah perguruan tinggi, para pimpinan Universitas sudah
menyarankan mahasiswanya untuk tidak gondrong, dan kalau tetap memilih
gaya tersebut, mereka dipersilahkan memilih pindah ke kampus lain yang
menerima gondrong. Di Sumatera Utara, oleh gubernur saat itu, Marah
Halim, telah dibentuk “”Badan Koordinator Pemberantasan Rambut
Gondrong”—disingkat BAKORPRAGON, yang tugasnya adalah melakukan operasi
dan menangkap mereka yang berambut gondrong.
Karena lama-kelamaan gerakan anti-gondrong ini semakin pukul rata,
maka para seniman pun terkena getahnya, misalnya Sophan Sophiaan, Broery
Marantika, Trio Bimbo, W.S. Rendra, Umar Kayam Affandi, Achmad Akbar,
Remmy Silado, Ireng, Taufiq Ismail, dan lain sebagainya.
Di gerakan mahasiswa, yang semakin “kesal” dengan sikap Soeharto
dalam membabat korupsi, rambut gondrong telah dijadikan sebagai salah
satu bentuk perlawanan. Ketika pemerintah melakukan razia anti-gondrong,
berbagai elemen gerakan mahasiswa di Bandung menggelar razia anti-orang
gendut, sebuah bentuk ekspresi kekecewaan terhadap maraknya pejabat
yang korup.
Salah satu peristiwa yang memicu perlawanan terbuka mahasiswa versus
militer adalah terbunuhnya Rene Louis Conrad, mahasiswa elektro di ITB,
tewas dibunuh secara mengenaskan akibat dikeroyok oleh taruna Akpol.
Sesaat sebelum pengeroyokan, mahasiswa ITB melakukan pertandingan
persahabatan dengan taruna Akpol, namun berakhir dengan tawuran massal
karena ledek-ledekan kedua pihak.
Mahasiswa dan pelajar se-Bandung mengecam peristiwa terbunuhnya Rene
Conrad. Sebagai bentuk solidaritas terhadap Rene dan mahasiswa ITB,
sedikitnya 50.000 orang berpartisipasi dalam demonstrasi mengecam
kejadian itu.
Walaupun dapat dikatakan bahwa rambut gondrong sangat dipengaruhi
oleh gerakan hippies dan perkembangan musik Rock saat itu, namun kita
juga harus melihat faktor ekonomi dan korupsi sangat berpengaruh besar
dalam memicu keresahan mahasiswa saat itu. Boleh dikatakan, bahwa
“pilihan rambut gondrong telah menandai perpisahan antara gerakan
mahasiswa dan orde baru/militer.”
Begitulah, hingga gerakan mahasiswa tahun 1998 yang berhasil
menjatuhkan Soeharto, aktivis mahasiswa banyak sekali yang berambut
gondrong. Ketika saya menginjakkan kaki pertama kali di Universitas,
aksi protes di depan kampus dipimpin dan diramaikan oleh mahasiswa
berambut gondrong.
Sekarang ini, seiring dengan menyusutnya gerakan mahasiswa di
berbagai kampus dan pengaruh kuat “lifestyle” baru dari luar, mahasiswa
berambut gondrong mulai berkurang pula. Kalaupun ada yang masih berambut
panjang, tapi bukan lagi “gaya gondrong” ala mahasiswa tahun
1980-1990-an.
Namun demikian, ini tidak berarti bahwa mahasiswa yang bangkit
melawan dan menjadi aktivis harus berambut gondrong, tidak harus dan
tidak perlu begitu. Kalau kita melihat dari gambaran historisnya, rambut
“gondrong” telah menjadi gaya yang dimusuhi penguasa dan diasosiasikan
dengan “penentang” atau kegiatan subversif. Tidak mengherankan pula,
sebagian aktivis mahasiswa telah memilih “berambut gondrong”sebagai
pilihan untuk menunjukkan perlawanan dan kritik.
Dari uraian di atas, baik secara historis maupun secara sosial, “gaya
rambut” puya dimensi yang sangat luas, tidak sekedar “mahkota” di
kepala. Tidak hanya gondrong, tapi ada banyak gaya lain untuk
menunjukkan identitasi atau bahkan perlawanan, misalnya gaya rambut
“Mohawk” yang menjadi identitas perlawanan punk hari ini, diambil dari
kisah perjuangan kaum Indian. “rambut tidak sekedar mahkota anda, tapi
boleh jadi menjelaskan pendirian politik anda.”
Penulis adalah anggota Redaksi Berdikari Online dan Staff Kajian dan Bacaan KPP-PRD.
Sumber:
1. F.C. Fanggidaej, Sekelumit Pengalaman Pada Masa Revolusi Agustus 1945-194, PPI Belanda.
2. –; Peristiwa Rene Conrad-Mahasisw ITB Tahun 1970, http://hanyaadadiindonesiasaja.blogspot.com/2010/03/peristiwa-rene-conrad-mahasisw-itb.html
3. Aria Wiratma Yudhistira, Rambut Dan Sejarah Indonesia, terbitan KUNCI edisi 16 April 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar