Penundaan kenaikan harga BBM beberapa waktu lalu menunjukkan betapa
tidak efektifnya sistem politik yang berlangsung. Yang mengkhawatirkan,
itulah model yang umum dikenal di masyarakat tentang bagaimana tatanan
sosial dapat dikelola. Dari kondisi ini ada beberapa hal yang bisa kita
ambil sebagai pelajaran dalam rangka membangun tatanan baru yang lebih
ideal.
Hal pertama dan terpenting adalah betapa pun tidak sesuai dengan
keinginan kita yakni membatalkan rencana kenaikan harga, penundaan
tersebut adalah buah keberhasilan dari rangkaian perlawanan dan protes
keras yang berlangsung hampir dua pekan tanpa henti. Tanpa tekanan dan
protes yang melibatkan banyak orang serta ‘kejadian-kejadian tidak
biasa’ di beberapa tempat, mustahil ada perubahan yang berarti, bahkan
bukan tidak mungkin kenaikan BBM sudah kita alami sekarang ini.
Sementara itu ada pelajaran penting lainnya yang senantiasa luput
dari perhatian kita yang justru harus dipahami secara mendasar. Bahwa
persoalan tentang rencana kenaikan harga bukanlah sekedar skema ekonomi
belaka, melainkan juga tentang segelintir orang yang menentukan
kehidupan seluruh masyarakat.
Pemaksaan Yang Sah dan Konstitusional
Kita semua tahu, keputusan tentang kenaikan maupun penundaan tidak
lahir begitu saja. Ia lahir dari pertimbangan dan hitung-hitungan
politik.
Lalu, mengapa kita turun ke jalan dan menyatakan penolakan serta
kemarahan kita? Karena rencana dan keinginan itu bukanlah keinginan dan
kemauan kita.
Lalu jika bukan kemauan dan keinginan kita, mengapa hal ini tetap
terus dipaksakan ? Jawabnya : karena ada yang memaksakan dan lagipula
pemaksaan tersebut sah secara hukum dan bersifat konstitusional!
Tentu saja hal ini juga akan menimbulkan pertanyaan baru : bagaimana
bisa sebuah pemaksaan yang berdampak pada kehidupan mayoritas orang di
negeri ini dapat disahkan, dilegalkan, dan dijadikan landasan untuk
melahirkan aturan-aturan menyengsarakan berikutnya?
Dan kita tahu jawabannya : demokrasi.
Demokrasi Artinya ‘Seolah-olah Terwakilkan’
Tidak berarti dengan mencurigai demokrasi berarti menganjurkan
kediktatoran. Ini bukanlah cara berfikir yang baik. Tujuan dari argumen
ini justru menunjukkan bahwa konsep mapan tentang demokrasi bukanlah
sesuatu yang final dan karenanya mesti terus diperiksa.
Benar bahwa hampir seluruh negara di dunia menganut demokrasi sebagai
alternatif dari sistem kediktatoran. Demokrasi adalah pandangan bahwa
rakyatlah yang semestinya berkuasa, dan karena itu mereka harus
memegang kekuasaan yang dijalankannya melalui badan-badan seperti
eksekutif, legislatif dan yudikatif. Tujuannya untuk membatasi
kekuasaan satu pihak agar tidak bertindak melampaui batas, sebagaimana
yang sering terjadi pada sistem pemerintahan otoriter.
Ada berbagai nama dan jenis yang kita kenal seperti demokrasi
parlementer ala Eropa, demokrasi terbatas, perwakilan atau demokrasi
terpimpin ala Soekarno. Dari sekian banyak perbedaan-perbedaannya,
konsep-konsep tersebut memiliki persamaan kunci : bahwa kekuasaan
seolah-olah berada di tangan rakyat, tetapi dalam prakteknya
sehari-hari, ia dialihkan ke tangan sekelompok orang yang dinamakan
‘wakil’. Alih kuasa ini dilakukan secara resmi, sah dan konstitusional.
Inilah rahasia dari demokrasi.
Karenanya ajaran inti dari demokrasi adalah mengatasnamakan orang
banyak. Konsepnya bahwa pemerintah bisa merencanakan sesuatu tanpa
keharusan untuk mempertimbangkan persetujuan dan tawaran masyarakat.
Parlemen bisa mengajukan sesuatu, entah undang-undang, interperlasi, dan
lainnya, tanpa ada keharusan untuk meminta persetujuan atau penolakan
dari yang diwakilinya.
Mereka memang tidak perlu melakukannya karena tidak ada konsekuensi
hukum dan politik yang mengaturnya. Dalam demokrasi, sekali kita memilih
para wakil, maka selama 5 tahun ke depan wewenang dan haknya
hampir-hampir tanpa batas. Mungkin satu-satunya batasan adalah aspek
moral, tetapi tentu sangat konyol mempertaruhkan hidup mati kita dengan
sesuatu yang sama sekali tidak bisa diikat.
Kembali ke seteru di parlemen tentang menolak dan menyetujui kenaikan
harga BBM misalnya, pemerintah tidak harus meminta persetujuan kita
terhadap keputusan-keputusan yang akan diambilnya. Bahkan jika kita
menolak mati-matian pun, keputusan pemerintah tetap tidak bisa
disalahkan sepanjang memenuhi aturan-aturan formal.
Drama Politik
Drama politik BBM menunjukkan bahwa segala keputusan penting yang
menyangkut kehidupan kita ditentukan hanya oleh segelintir orang. Hal
ini harus dipahami oleh setiap orang bahwa bukan masalah BBM saja yang
mendapat perlakuan seperti ini. Masalah-masalah lain seperti korupsi,
kemacetan, perusakan lingkungan, upah murah, penembakan rakyat,
penggusuran dan sebagainya, muncul dari situasi dimana kehidupan kita
dikendalikan oleh segelintir orang.
Tetapi ini bukanlah sekedar jumlah yang segelintir itu, masalah
pokoknya adalah kontrol atas kehidupan kita bukan di tangan kita sendiri
melainkan ada pada mereka yang ‘seolah-olah mewakili kita.’
Sementara itu, kebanyakan orang beranggapan bahwa error
tidak terletak pada prosedur dan mekanisme melainkan orang-orang atau
partai yang duduk di posisi tersebut. Dan sebagai solusinya kita harus
memilih orang atau partai yang betul-betul berkomitmen dan berpihak pada
rakyat, dan mendudukkan mereka. Dengan mengganti orang dan partai yang
berpihak dan punya komitmen, untuk duduk di pemerintahan, parlemen,
lembaga hukum, kita dapat terhindar dari ancaman seperti kenaikan harga,
impor pangan, pengrusakan lingkungan atau kebebasan pers.
Ada pula pandangan kritis mengatakan bahwa kritik terhadap model ini
sesungguhnya adalah kritik terhadap model demokrasi liberal atau
demokrasi borjuis, bukan pada model yang lebih ideal dan dianggap
sebagai solusi atas kebangkrutan demokrasi borjuis, dan sebagai tawaran
demokrasi sesungguhnya atau acapkali disebut sebagai demokrasi
kerakyatan.
Benarkah? Baiklah kita uji pendapat itu.
Pada saat kita berhasil menggagalkan keputusan-keputusan penting,
seperti kenaikan harga BBM misalnya, sesungguhnya kita tetap tidak bisa
beranjak dari posisi : menolak atau menerima keputusan yang
direncanakan. Hanya posisi itulah yang kita miliki.
Untuk itu ada tiga hal mendasar yang harus kita periksa, yakni : 1)
siapa sesungguhnya yang berkuasa atau memegang kekuasaan? 2) bagaimana
kita mengontrol kuasa yang kita miliki, dan 3) bagaimana kita mengakses
kekuasaan itu setiap waktu?
Mari kita jawab satu persatu. Tiga poin standar ini mensyaratkan
bahwa selama kita masih terwakili dan termediasi oleh pihak lain dalam
menentukan keinginan kita, maka tidak akan pernah ada yang namanya
kebebasan untuk diri kita–sesuatu yang justru dielu-elukan dalam
demokrasi.
Jawaban dari pertanyaan pertama sungguh jelas: bukanlah kita yang
memegang kuasa atas diri dan kehidupan kita. Ada segelintir orang di
parlemen, di pemerintahan, di perekonomian, di ruang-ruang sosial
budaya, yang berkuasa atas nama kita.
Jawaban kedua juga jelas. Kita tidak bisa mengontrol kuasa yang ada
pada kita. Kuasa yang ada di tangan kita, yang dipercaya hanya dalam
tataran teori saja, diambil paksa oleh konstitusi untuk diberikan kepada
pihak-pihak tertentu seperti anggota parlemen, birokrasi pemerintahan,
dan lembaga sosial lain.
Sementara untuk pertanyaan terakhir juga sangat terasa bahwa kita
tidak bisa senantiasa mengakses kontrol tersebut melainkan hanya
momen-momen tertentu, seperti pemilu yang berlangsung 5 tahun sekali.
Itu pun hanya sebatas memilih orang atau partai, dan setelahnya
membebaskan orang-orang tersebut melakukan ‘apa yang mereka anggap
benar’.
Karenanya untuk betul-betul dapat menentukan nasib dan kehidupan
sendiri, kita harus membangun sistem sosial yang juga betul-betul
berbeda dari hari ini. Sebuah tatanan dimana kekuasaan berada di tangan
kita sendiri –bukan segelintir elit, langsung –tidak terwakilkan dan
termediasi, dan berada dalam jangkauan kita sehari-hari secara ruang dan
waktu.
Demikianlah bahwa keberhasilan menunda kenaikan BBM bukan saja
memberikan pelajaran bahwa jika bukan rakyat sendiri yang berupaya maka
tidak akan ada yang bisa,tetapi juga bahwa hanya segelintir saja yang
menentukan kehidupan mayoritas orang di negeri ini. Dan hal ini akan
terus terjadi sepanjang sistem politik melegalkan situasi dimana
mayoritas orang hanya bisa mengambil posisi pasif, dan bukan aktif.
Ke depan, agar tidak terjebak dalam liang yang sama, kita harus mulai memperjuangkan dunia lain dari saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar