Nama asli saya Virgiawan Listanto, tapi orang umum mengenal saya
sebagai Iwan Fals. Saya dikenal sebagai musisi besar di negeri ini.
Bukan sekedar musisi besar, banyak juga yang menganggap saya semacam
penyambung lidah rakyat kecil. Sejenis dengan pahlawan, tapi bukan jenis
yang banyak ditulis di kurikulum sekolah. Saya musisi yang memainkan
balada, kaya dengan suara gitar akustik dan harmonika seperti halnya Bob
Dylan. Dan liriknya? Orang-orang mengamini sebagai sepenuhnya
perlawanan. Tiga dekade lebih saya bermain musik, menyaksikan zaman
mengalami perubahan dari masa ke masa. Dan saya pernah berada di sebuah
masa dimana negeri ini benar dikuasai oleh sebuah tiran. Tiran yang
keras dan represif. Keras bagai batu, tidak segan membunuh siapa saja
yangberusaha mengusik kekuasaannya. Tiran yang di mukanya selalu
terpasang senyum hangat, tapi di belakang mampu menggorok leher
pemberontak dengan darah yang sedingin balok es. Sebuah masa dimana
negeri ini mempunyai rakyat yang melulu melarat dan ketakutan. Dan saya
adalah seorang seniman, waktu itu seni adalah alat yang paling masuk
akal untuk melakukan perlawanan. Saya waktu itu adalah pemuda, tetap
berdidih darah tanpa takut di tengah badai represi. Saya pemuda,makanya
saya ugal-ugalan, kurang ajar dalam membangkang. Iya, saya pembangkang,
saya punya tekad, mungkin waktu itu juga nekat, tidak perduli
konsekuensi. Berikan saya sebuah gitar, dan akan saya nyanyikan balada
satir yang menginspirasi perlawanan.
Tengah lagu suaraku hilang sebab hari semakin bising
Hanya bunyi peluru di udara gantikan denting suara gitarku
Mengoyak pasrah nurani jauhkan jarak pandangku
Bibirku bergerak tetap nyanyikan cinta walau aku tahu tak terdengar
Jariku menari dan takkan pernah berhenti sampai wajah tak murung lagi…
( Di balik bening mata air tak pernah ada air mata )
Saya
sebenarnya
tidaklah lahir dari kalangan yang dikatakan melarat. Bapak
saya adalah petinggi militer kelas wahid, bahkan sang jendral pemimpin
tiran-pun pernah menjadi wali nikah saudaraku. Tapi mungkin karena
melulu melihat segala sesuatu yang di “atas”, makanya saya juga tertarik
untuk melihat semuanya yang “di bawah”. Dan ternyata di “bawah” sana
tidak seindah berbanding apa yang biasa saya lihat “di atas”. Saya
gelisah, saya resah, tidak setuju, dan akhirnya memberontak. Saya pergi
membaur dengan semuanya yang “dibawah” sana. Saya memulainya dengan
menjadi pengamen, karena saya mencintai musik. Sebuah awalan yang
akhirnya membuat saya menjadi akrab dengan budaya jalanan. Ugal-ugalan,
kurang-ajar, tapi sekaligus juga penuh dengan perenungan. Di jalanan,
saya menjadi lebih menghargai tali pertemanan. Teman senasib bergerilya
bersama, bertahan hidup ditengah tekanan sang tiran. Teman-teman yang
sedikit banyak juga mengispirasi saya dalam perlawanan. Jika ingin
mencari jawaban tentang kesejatian pertemanan, carilah di jalanan.
Pertemanan pada masa itu, apalagi di jalanan, bagi saya adalah tak
ternilai harga.
Pernah kita sama-sama susah,
terperangkap didingiin
malam
Terjerumus dalam lubang jalanan, digilas kaki sang waktu yang sombong
Pernah kita sama-sama rasakan, panasnya mentari hanguskan hati.
Sampai saat kita nyaris tak percaya, bahwa roda nasib memang berputar
Sahabat masih ingatkah, kau?
( Belum ada judul )
Sang
jendral tiran pada awalnya adalah seorang tentara, dan cara beliau
memerintah? Sudah tentu sangat militerisitik. Pemerintahan dimana semua
sektor harus ada militer yang menjadi petingginya. Dan militerisme
sendiri, menjadi sesuatu yang pelan-pelan terpaksa diterima. Militer
menjadi raja di semua aspek. Lurah dari militer, camat dari militer,
gubernur bekas pensiunan militer, bahkan ketua RT dan RW-pun juga
seorang sersan militer. Kekerasan menjadi sebuah kebiasaan ketika
robot-robot tentara itu siap melakukan apapun untuk mengamankan sang
tiran dari gangguan pembangkang. Sesuatu yang walaupun bapak saya adalah
salah satunya, tapi menjadi sesuatu yang tidak saya setujui di negeri
ini. Saya, tentu melawannya. Saya tidak menyetujui adanya tentara dan
senjata ketika mereka semata dijadikan alat bagi negara untuk merampok
dan menjajah rakyatnya.
Kata berita gagah perkasa apalagi sedang kokang senjata
tak perduli perwira, bintara atau tamtama, tetap tentara
Serdadu seperti peluru, tekan picu melesat tak ragu.
Serdadu seperti belati, tak diasah tumpul dan berkarat.
( Serdadu )
Negeri
sang jenderal tiran adalah negeri dimana pertanian menjadi pondasi.
Iya, negeri ini menjual beras untuk pemasukan negara. Tapi pertanian
pada saat itu, apalagi di negeri ini yang sistemnya masih tradisional,
mungkin tidak akrab dengan tampilan modern. Dan ketika sang jenderal
tiran mulai buta untuk membuat negerinya tampak lebih modern, basis
ekonominya mulai dibelokkan. Dari yang semula negeri petani, menjadi
negeri industri yang akrab dengan pabrik-pabrik. Pabrik, tentu
membutuhkan lahan baru yang tidak sempit. Dan waktu itu kekuasaan sang
jenderal tiran adalah mutlak, menggusur rumah atau sawah orang adalah
hal yang segampang membalik tangan. Iya, memang ada ganti rugi. Tapi
mungkin pura-pura untuk lupa menyadari bahwa uang itu akan habis
terpakai, sedangkan tanah itu tidak, kecuali dikeruk. Pembodohan adalah
hal yang mudah ketika ketakutan melanda. Pembangunan itu cuma kedok,
karena cuma mensejahterakan segelintir golongan saja. Yang nyata adalah
lisensi bagi para pelaku industri supaya uang pelicinnya masuk kantong
sang jenderal tiran. Dimana-mana tiran itu butuh suap. Jika perlu
lahan-lahan juga pasti di gusur demi lancarnya suap.
Nama dusunku, Ujung Aspal Pondok Gede
Rimbun dan anggun, ramah senyum penghuni dusun
Kambing Sembilan, motor tiga, bapak punya
Ladang yang luas habis sudah sebagai gantinya
sampai saat tanah moyangku tersentuh sebuah rencana dari serakahnyakota
terlihat murung wajah pribumi , terdengar langkah hewan bernyanyi
( Ujung aspal pondok gede )
Salah
satu parameter dunia modern kapitalistik dalam menilai kemakmuran,
adalah daya beli. Dan sang jenderal tiran tentu mengidamkan pengakuan
bahwa negerinya adalah negeri modern yang makmur. Beliau ambisius dengan
industrialisasi, tancap gas membabi-buta demi mengejar pengakuan
tersebut. Modernisme dan kapitalisme, kombinasi dari keduanya sudah
pasti melahirkan konsumerisme. Kecenderungan untuk selalu membeli,
bahkan untuk hal-hal yang sebenarnya bukan primer, tapi sekunder.
Seberapapun miskin orang-orang waktu itu, televisi berwarna adalah tetap
idaman walaupun gaji tidak sebanding bahkan untuk sekedar membeli
makan. Walaupun sebuah fakta pada waktu itu, bahwa tidakmungkin untuk
hidup berlebih, tapi sang tiran berhasil membuat rakyatnya untuk bisa
bermimpi. Mimpi yang menghasut untuk tetap membeli walaupun
sebenarnyamelarat. Sebenarnya mimpi yang menjerumuskan, karena tidak
sepadan dengan kenyataan. Yang berhasil bekerja silahkan berhutang ke
bank, yang tidak bekerja silahkan menjadi maling tapi ingat, tetap masuk
penjara. Sang tiran membebaskan rakyat-nya untukmemilih diantara 2
pilihan yang sebenarnya sama - sama bikin muntah jika ditelan. Dan
rakyat sang tiran, entah terpaksa atau rela, mengikuti gemerlap mimpi
palsu ini. Selamat datang konsumerisme.
Segala produksi ada di sini
Menggoda kita untuk memiliki
Hari-hari kita di isi hasutan
Hingga kita tak tahu diri sendiri
( Mimpi yang terbeli )
Pada
saat itu mungkin adalah awal dari apa yang sekarang ini terjadi. Dimana
kota adalah impian, dan meninggalkan desa kelahiran adalah keharusan.
Ketika suara-suara palsu memberitakan bahwa surga dunia ada di
gemerlapnya kota, menimbulkan gelombang awal dari para manusia yang akan
dicap sebagai urban pada nantinya. Kota, pelan tapi pasti,menjadi
padat, sumpek berjejal-jejal. Sebuah hal yang sang jendral sebenarnya
tidak pernah mempunyai program yang jitu untuk mengatasinya, karena
sebenarnya hal seperti itu memang tidak bisa diatasi. Konsekuensi dari
maraknya industri dan konsentrasi manusia pada suatu wilayah adalah,
kerusakan lingkungan. Satu konsekuensi dari keinginan kuat menjadi
modern, yang sebenarnya fatal jika tidak diminimalisir dari awal. Saya
menjadi saksi bagaimana sebuah kota yang sebelumnya wajar, menjadi tidak
wajar. Bagi saya, melihat perubahan secara perlahan warna sungai dari
yang sebelumnya jernih coklat menjadi hitam berbusa, adalah tidak wajar.
Ketika pergi memancing dan tidak mendapatkan ikan, tapi seringnya mata
kail malah kesangkut tinja atau sandal jepit yang dibuang, dan kemudian
menganggapnya sebagai sekedar kelucuan, bagi saya juga tidak wajar. Dan
lumayan gila jika kita mulai sekedarmembiasakan diri dan menerima saja
udara-udara yang berkeliaran sudah berisi 100% polutan, dan bahkan
menganggap semua itu baik-baik saja.
Mengalir sungai plastik jantung kota
Menjadi hiasan yang seharusnya tak ada
Udara penuh dengan serbuk tembaga
Topeng topeng pelindung harus dikenakan
( Esek esek udug udug )
Waktu
terus berjalan dan sang tiran tetap berkuasa dengan nyaman.
Anak-anaknya, diperlakukan bak anak seorang raja. Para pangeran tiran
ini, entah mengapa, dalam cara yang berbeda, lebih semena-mena daripada
bapaknya. Hal khas yang menjadi kesamaan para tiran adalah, wajah yang
selalu tersenyum hangat tapi mempunyai darah dingin yang mampu
membekukan air. Tempat tinggalnya istana, perhiasannya permata, istrinya
lima walaupun yang resmi cuma satu. Sedangkan diam-diam di “bawah”
sana, para rakyat melarat mulai memasang wajah cemburu melihat
kesenjangan. Dan saya menyadari bahwa para rakyat sebenarnya sudah
mencapai kemuakan yang maksimal. Rakyat itu sebenarnya marah, sangat.
Hanya menunggu api untuk menjadi bar-bar. Akumulasi kemarahan itu masih
terbendung hanya karena nyali mereka tidak terpicu. Saya tahu itu,
mereka butuh provokasi. Dan saya ahlinya kalau masalah provokasi. Saya
ini pembangkang ulung, lagi pembenci tirani. Mari bernyanyi bersama
saya. Bernyanyi dan terprovokasilah. Sudah saatnya kalian menggila
meruntuhkan sang tiran.
Kala cinta sudah dibuang, jangan harap keadilan akan datang.
Kesedihan hanya tontonan, bagi mereka yang diperbudak jabatan.
Sabar, sabar, sabar dan tunggu, itu jawaban yang kami terima.
ternyata kita harus ke jalan, robohkan setan yang berdiri mengangkang.
Oo, oo ya oo, ya o ya bongkar!
( Bongkar )
Dan
sang jenderal tiran akhirnya pergi, dan negeri ini terus melanjutkan
langkahnya. Langkah yang belakangan saya sadari cuma sebuah langkah
menuju tirani lainnya.
*****
Itu
sekelumit kisah ketika saya muda, sebuah kisah tentang perlawanan.
Lagu-lagu saya seperti layaknya diari, berdasarkan kejadian yang saya
alami, dengar, dan rasakan. Akan tetapi, tidak akan cukup setebal apapun
sebuah buku jika semua detail masa muda ini dituliskan. Karena pada
akhirnya sebuah buku itu sekedar dokumentasi ketika menyangkut sejarah.
Bukan berarti pula dokumentasi itu tidak penting. Tapi kadang-kadang
sebuah buku memang sekedar berisi kata-kata, dan pada titik tertentu
memang sulit untuk menyampaikan makna. Dan masa muda bagi saya, penuh
dengan makna dan kata-kata. Iya, saya adalah pakar dalam menciptakan
kata-kata yang penuh dengan makna. Perjalanan panjang tentang ketidak
setujuan dan kesinisan, sebuah masa dimana saya bisa menjadi kritis
sekaligus skeptis. Sebuah masa dimana semangat itu tidak mengenal kata
menyerah. Sebuah semangat yang tidak bisa saya temukan lagi pada diri
saya, dan kadang saya merindukannya.
Pada sebuah
wawancara dengan sebuah majalah musik terkemuka, saya pernah bilang
bahwa saya tidak akan mengijinkan apapun jenis papan iklan untuk berada
di panggung ketika saya menjalankan ibadah saya, yaitu musik. Saya
menganggap papan iklan itu kepentingan, dan saya menolaknya untuk
menjadi bagian dari kemasan perlawanan saya. Sesuatu yang belakangan
hari saya ingkari ketika semangat itu sudah hilang dalam diri saya. Saya
gegap gempita menjadi model papan iklan, agen dari kepentingan. Sesuatu
yang sebenarnya saya sadari sebagai ironi. Ironi karenas ama sekali
berseberangan dengan apa yang diusung semangat ketika saya muda. Sebuah
semangat yang sangat saya rindukan. Saya sebenarnya berusaha menemukan
kembali sang semangat itu. Dalam setiap denting gitar saya, kedalam
tubuh dan pikiran yang beranjak merapuh, kedalam nurani yang masih
manusia. Akhirnya saya menyadari bahwa semangat itu memang sudah
menghilang, entah kemana... Mungkin karena saya terlalu sibuk menikmati
dunia. Dunia yang dulu saya lawan. Mungkin memang saya ditakdirkan untuk
menjadi musuh hanya bagi sang jenderal tiran. Dan ketika sang jenderal
pergi, saya sudah tak harus melawan walaupun ada tiran yang lainnya.
Seperti halnya sosok Joker besutan Christhoper Nolan yang kebingungan
harus melawan siapa jika sang Batman tidak ada. Dan saya juga bukan
seorang Bruce Wayne yang berkelanjutan dalam sebuah serial melawan tiran
dengan berbagai simbolisasinya. Mungkin juga semangat itu hilang
bersama perginya anak sulung saya dalam ketragisan. Atau mungkin
semangat itu juga pergi setelah bubarnya band saya yang melahirkan lagu
paling provokatif tersebut.
Segala mungkin yang
berbentuk sebuah jawaban, hanyalah menghasilkan sesuatu yang bukan
kepastian, ragu. Apapun, saya hanya berharap orang-orang mengenang saya
seperti halnya ketika saya muda. Pemuda kurang ajar yang tidak menyerah
untuk membangkang. Pemuda jantan yang diakui sebagai perayu handal
berat. Pemuda yang piawai menciptakan kata-kata yang mewakili makna
inspiratif. Pemuda bertelanjang dada yang tidak perduli konsekuensi
ketika menantang represi tirani. Saya tidak ingin dikenang sebagai orang
yang sekarang ini terlihat ironis karena menjadi lembek dan melulu
menyanyikan lagu cinta yang kacangan. …Sayangnya… memang sekarang itulah
kenyataannya, kenyataan bahwa saya memang menerima untuk menjadi tua
dan menyerah... Jangan, tolong jangan mengenang saya dengan cara seperti
itu. Dan jangan pula iseng mengganti judul tulisan ini dengan : Ironi
Iwan Fals…
Source : Nobody Zine #1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar