Minggu, 10 November 2013

Marjinal Movement

Telah sepuluh tahun Marjinal, sebagai sebuah band hidup di tengah masyarakat, sekaligus dihidupi masyarakat. Sepuluh tahun, satu dasawarsa, bukan sebuah perjalanan yang mulus dan langsung lepas landas begitu saja. Masih banyak aral-merintang, jalan penuh onak-duri, sekaligus terjal berbatu. Kalau mau merunut kembali ke belakang, membayangkan proses pertama band Marjinal didirikan, dari sebuah kamar kos-kosan di bilangan Lenteng Agung, Jakarta, dimana kita bertemu dengan kawan-kawan yang mempunyai kepedulian, kesadaran yang sama sekaligus gelisah melihat keadaan negeri ini, hanya satu kata yang terus terngiang: Perubahan!
Dari sebuah kamar kos itu, kita merencanakan sebuah perubahan dengan musik yang diciptakan, disamping komik, desain sablon yang dicetak di kaos-kaos. Kita terilhami kenyataan yang luas: kehidupan buruh, tukang ojek, pedagang kaki-lima, tukang getek, orang-orang yang berjubel di Kereta Rel Listrik dari daerah pinggiran menuju Kota, mahasiswa, dan kalau mau disebut satu per satu begitu panjang dan masih panjang lagi … Begitu banyak kenyataan hidup orang-orang yang menjadi sumber ilham bagi kerja dan karya kami.
Awalnya band kami bernama Anti-ABRI, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, sebuah institusi militer yang menjadi momok, menebar fasisme ala Orde Baru. Lalu kami merubahnya, menjadi Anti-Military, bersamaan dengan berubahnya nama institusi militer di negeri ini. Lalu kami merubah nama, menjadi MARJINAL, sebuah band yang komit dengan ruang bermain di kampung-kampung di seantero Tanah Air.

Mungkin Anda ada yang berselancar dengan internet menemukan band MARJINAL dalam Wikipedia- ensiklopedia gratisan- yang mengkategorikan Marjinal sebagai band Anarcho Punk. Kami sendiri tidak tahu
siapa yang memberi kategori itu, tetapi kami menyambutnya sebagai hadiah, apa pun penamaan itu. Adalah sebuah kesadaran dari lubuk sanubari apabila apa yang kami kerjakan dan karya yang kami ekspresikan (dalam bermusik dan visual arts) memang dekat dengan subkultur Punk. Apabila kita dengan sedikit kesabaran membuka literatur, disebutkan Punk adalah Sang Pemula (The Begineer), sebuah subkultur yang berkembang di Britania Raya pada pertengahan dekade 70-an, yang melawan sistem monarchy. Secara populer gerakan Punk dikaitkan dengan musik Punk Rock seperti Sex Pistol, lalu The Clash, dan menyebar di Amerika seperti Dead Kenedy, Anti Flag, dan lain sebagainya.
Band-band Punk Rock yang berjaya dan jungkir-balik lalu bubar pada dekade 70-an di Eropa dan Amerika sono, menjadi buah bibir dan diimitasi bentuk, gaya dan bahasanya. Kita sering mendengar atau melihat kata “Destroy” atau “Fuck” yang terpampang pada kaos, pin, emblem atau stensilan di dinding kota. Sebagian anak muda seperti berkompetisi mengoleksi kaset dan kaos impor dari band-band punk dari mancanegara. Ada semacam kebanggaan, bahkan eupheria bagi mereka, agar terlihat sebagai Punker, memacak diri: mengenakan boot Dr.Marten, kaos hitam, jaket kulit, asesoris rantai, berambut ala Mohawk dengan warna-warni. Beberapa kota besar, seperti Bandung, Jakarta dan Jogjakarta dilanda demam PUNK. Scene-scene punk tumbuh di setiap titik penjuru kota. Mereka hidup secara kolektif, mendirikan band, menerbitkan zine atau newsletter yang mewartakan hidup dengan jalan D.I.Y (Do It Yourself). Band-band membuat acara kolektif secara berkala, walau susah mendapat tempat. Masyarakat sontak terkejut melihat gaya hidup dan aktifitas anak muda yang menamakan dirinya sebagai punker, dan sebagian lagi hidup di jalanan, sebagai street-punk.
Itulah dinamika yang tumbuh diakhir dekade 90-an. Kalau kita mau merunut lagi kebelakang, dari mana demam punk itu tumbuh? Tentu jawabannya sangat variatif, tetapi yang jelas media — dalam pengertian yang lebih luas– majalah, koran, zine, internet, kaset, dan sebagainya turut mempunyai andil yang besar. Kita tentu pernah mendengar kenaifan yang terjadi dalam sebuah scene punk yang berburu koleksi kaset atau memakai kaos impor yang memampang potret Sid, anggota Sex Pistol, walau telah dipakai berbilang minggu/bulan dan robek di sana-sini, untuk menyatakan diri sebagai punker sejati, “the real punker” dalam scene punk yang tumbuh subur bagaikan jamur di musim hujan. Band-band selalu meneriakkan kata “Fuck!” dalam setiap gig.
Itulah proses, sekali lagi bagian dari proses, yang yang tumbuh di Negara Ketiga. Kita memang awalnya menjadi konsumer– memamah bentuk/gaya/isi yang datang dari luar negeri kita. Kategori Negara Ketiga juga datang dari sono, sang pemegang hegemoni kultural: Barat, yang melahirkan budaya mainstream bahkan bahasa mainstream, bahasa Inggris yang sering kita dengar dan dengan kesadaran penuh juga kita gunakan.
Perlahan, kita berusaha mengenal siapa sih diri kita, melalui lirik lagu yang kita ciptakan atawa melalui desain komunikasi visual yang kita cetak. Awalnya, ketika Marjinal menciptakan lirik lagu dalam bahasa Indonesia mendapat cemooh dari komunitas underground. Begitu juga dengan desain-desain Marjinal yang mengangkat kembali Benyamin S yang dipadukan dengan pose Che Guevara, revolusioner dari Amerika Latin. Menghidupkan sosok Marsinah, perempuan aktivis buruh yang menjadi korban fasisme ABRI. Atau menggunakan kata “Ngehe” dalam bahasa pergaulan dan komunikasi visual. Kita selalu akrab dengan referensi, dari literatur anarchist, kiri-baru, feminisme, dan seterusnya, dan sebagainya, tetapi itu hanyalah referensi untuk melihat diri kita diantara umat manusia sedunia. Kita tidak pernah mengadopsinya secara mentah, tanpa proses adaptasi dengan budaya lokal, dengan kearifan lokal. Kalau menyimak lirik lagu Marjinal, sangatlah terang, kita harus belajar dari petani dan nelayan. Kita harus banyak belajar dari tetangga kita, lingkungan kita bahkan belajar pada alam-raya. Sehingga keseimbangan tetap terjaga, dan perubahan menjadi darah dan daging kita. Kita tidak membuat jarak dengan masyarakat.
Selama sepuluh tahun, Marjinal diterima di tengah masyarakat. Kita hidup di sebuah rumah di sebuah kampung Betawi, Setu Babakan, dengan kawan-kawan yang selalu berkunjung dari daerah-daerah di seantero Tanah-Air. Sebagian besar yang datang adalah street-punk, punk kentrung, yang datang untuk bekerjasama, bertukar cerita, membuat sablon atau tato. Kita makan-minum dan tidur di rumah yang sama, tanpa sekat tanpa pandang bulu. Kita berusaha menunjukkan semua adalah saudara.
Tapi selalu saja ada gosip dan provakasi yang datang atau tumbuh dari dunia underground. Tapi itu adalah proses, bagian dari dialalektika. Dan semua itu harus dilalui dengan “bahasa” pembuktian objektif di lapangan. Satu hal yang kita perlu sadari Kebenaran tidak menghadapkan dirinya ke Timur atau Barat. Apa yang benar akan tetap benar, yang salah tetap salah. Janganlah kita membenarkan apa yang salah atau menyalahkan apa yang benar. Gosip-gosip dalam dunia underground, yang membunuh karakter kita, memang bertiup kencang akhir-akhir ini. Ada pesan dari orangtua kita yang patut dicermati: “Semakin tinggi sebuah pohon, semakin kencang angin menggoyang”.
Sepuluh tahun Marjinal, selalu diikhtiarkan untuk membangun ruang bermain yang inklusif, setiap orang secara terbuka kita sambut untuk bekerjasama atau sekedar bertukar pengalaman dan cerita. Begitu banyak tantangan kita ke depan sehingga secara sadar kita menganggap penting membangun komunikasi kepada masyarakat.
Media massa, khususnya televisi, telah menyudutkan subkultur punk. Segala stigma yang negatif dihujamkan pada kita. Cobalah lihat iklan obat flu yang menggambarkan seorang punker sebagai penyebar virus, atau pemberitaan koran tentang “Punk Menyerang Musholla” di kota Bogor, yang tanpa proses verifikasi dan tidak akurat, sehingga puluhan punker diciduk aparat dan tempat-tempat kegiatan para punker di ruang publik dibrangus. Atau sebuah acara reality show, “Punk: 7 Hari Menuju Tobat” dan acara-acara sejenis yang sangat menyudutkan punk. Sampai saat tulisan ini ditulis, tidak ada reaksi atau perlawanan secara konkret dari scene-scene punk terhadap pemberitaan atau acara tersebut, sehingga memberi berita yang berimbang atas fakta-fakta yang sumir diangkat media massa nasional.
Melihat kenyataan yang tidak adil tersebut, komunitas Taringbabi dengan sangat sadar dan sesadar-sadarnya, menggunakan media massa untuk mewartakan hal yang sebenarnya, dengan apa adanya, tentang aktivitas Taringbabi sehingga masyarakat luas menyadari sesungguhnya apa yang kita lakukan: dari usaha cetak sablon, program pendidikan/workshop woodcut, aktivitas band dan menyabarkan wacana punk.
Ketika pihak televisi, RCTI datang ke komunitas Taringbabi meminta agar kita mau menjadi narasumber sebuah acara bernama “Urban”, kita dengan sadar memberikan informasi yang apa adanya. Apa yang ditayangkan Urban dalam durasi 21 menit saat larut malam itu, memang mendapat reaksi dari pelbagai scene punk di Tanah Air. Sebagian besar memberi dukungan. Masyarakat luas pun mulai terbuka matanya, khususnya para orangtua yang mempunyai anak seorang punker. Punker tidak seperti yang digambarkan media massa selama ini atau dicitrakan iklan obat flu itu. Ada juga yang menjadi dosen sebuah perguruan tinggi, bekerja sebagai desainer/tukang cetak, selain bermusik. Kita juga mendukung aktivitas kawan-kawan street-punk yang hidup di jalan. Sebagai pilihan dari manusia yang bebas merdeka, kita sangat menghargai pilihan-pilihan setiap individu.
Tapi selalu saja ada yang membuat keruh, dengan menebar SMS (sebuah media juga lho) yang menganggap Marjinal telah meninggalkan DIY. Para penyerang mengibarkan bendera anti-media, yang dianggap bagian dari kapitalisme. Cobalah lihat, bukankah SMS juga adalah bagian dari media mainstream dan salah satu produk kapitalis? Kita menyayangkan mereka yang berpikir secara picik, menyebar kebencian untuk kebencian itu sendiri, tanpa menawarkan sebuah dialog. Bagi kami ini bukan proses pro dan kontra atau dialektika dalam sebuah dunia undergorund, tetapi sangat jelas indikasinya pada pembusukan dalam dunia undergound. Kami sangat prihatin, apabila pembusukan atau racun ini terus mengerogoti tubuh kita. Karena itu kami dengan sadar menerbitkan KORAN MARJINAL. Media ini diikhtiarkan untuk membangun informasi yang sehat dan bergizi untuk kita semua, karena itu terbuka untuk kawan-kawan semua, Jrotz!

Source : koranmarjinal@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar