Telah sepuluh tahun Marjinal, sebagai sebuah band
hidup di tengah masyarakat, sekaligus dihidupi masyarakat. Sepuluh
tahun, satu dasawarsa, bukan sebuah perjalanan yang mulus dan langsung
lepas landas begitu saja. Masih banyak aral-merintang, jalan penuh
onak-duri, sekaligus terjal berbatu. Kalau mau merunut kembali ke
belakang, membayangkan proses pertama band Marjinal didirikan, dari
sebuah kamar kos-kosan di bilangan Lenteng Agung, Jakarta, dimana kita
bertemu dengan kawan-kawan yang mempunyai kepedulian, kesadaran yang
sama sekaligus gelisah melihat keadaan negeri ini, hanya satu kata yang
terus terngiang: Perubahan!
Dari sebuah kamar kos itu, kita merencanakan sebuah perubahan dengan
musik yang diciptakan, disamping komik, desain sablon yang dicetak di
kaos-kaos. Kita terilhami kenyataan yang luas: kehidupan buruh, tukang
ojek, pedagang kaki-lima, tukang getek, orang-orang yang berjubel di
Kereta Rel Listrik dari daerah pinggiran menuju Kota, mahasiswa, dan
kalau mau disebut satu per satu begitu panjang dan masih panjang lagi …
Begitu banyak kenyataan hidup orang-orang yang menjadi sumber ilham bagi
kerja dan karya kami.
Awalnya band kami bernama Anti-ABRI, Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia, sebuah institusi militer yang menjadi momok, menebar fasisme
ala Orde Baru. Lalu kami merubahnya, menjadi Anti-Military, bersamaan
dengan berubahnya nama institusi militer di negeri ini. Lalu kami
merubah nama, menjadi MARJINAL, sebuah band yang komit dengan ruang
bermain di kampung-kampung di seantero Tanah Air.
Mungkin Anda ada yang berselancar dengan internet menemukan band
MARJINAL dalam Wikipedia- ensiklopedia gratisan- yang mengkategorikan
Marjinal sebagai band Anarcho Punk. Kami sendiri tidak tahu
siapa yang
memberi kategori itu, tetapi kami menyambutnya sebagai hadiah, apa pun
penamaan itu. Adalah sebuah kesadaran dari lubuk sanubari apabila apa
yang kami kerjakan dan karya yang kami ekspresikan (dalam bermusik dan
visual arts) memang dekat dengan subkultur Punk. Apabila kita dengan
sedikit kesabaran membuka literatur, disebutkan Punk adalah Sang Pemula (The Begineer),
sebuah subkultur yang berkembang di Britania Raya pada pertengahan
dekade 70-an, yang melawan sistem monarchy. Secara populer gerakan Punk
dikaitkan dengan musik Punk Rock seperti Sex Pistol, lalu The Clash, dan
menyebar di Amerika seperti Dead Kenedy, Anti Flag, dan lain
sebagainya.
Band-band Punk Rock yang berjaya dan jungkir-balik lalu bubar pada
dekade 70-an di Eropa dan Amerika sono, menjadi buah bibir dan diimitasi
bentuk, gaya dan bahasanya. Kita sering mendengar atau melihat kata
“Destroy” atau “Fuck” yang terpampang pada kaos, pin, emblem atau
stensilan di dinding kota. Sebagian anak muda seperti berkompetisi
mengoleksi kaset dan kaos impor dari band-band punk dari mancanegara.
Ada semacam kebanggaan, bahkan eupheria bagi mereka, agar terlihat
sebagai Punker, memacak diri: mengenakan boot Dr.Marten, kaos hitam,
jaket kulit, asesoris rantai, berambut ala Mohawk dengan warna-warni.
Beberapa kota besar, seperti Bandung, Jakarta dan Jogjakarta dilanda
demam PUNK. Scene-scene punk tumbuh di setiap titik penjuru kota. Mereka
hidup secara kolektif, mendirikan band, menerbitkan zine atau
newsletter yang mewartakan hidup dengan jalan D.I.Y (Do It Yourself).
Band-band membuat acara kolektif secara berkala, walau susah mendapat
tempat. Masyarakat sontak terkejut melihat gaya hidup dan aktifitas anak
muda yang menamakan dirinya sebagai punker, dan sebagian lagi hidup di
jalanan, sebagai street-punk.
Itulah dinamika yang tumbuh diakhir dekade 90-an. Kalau kita mau
merunut lagi kebelakang, dari mana demam punk itu tumbuh? Tentu
jawabannya sangat variatif, tetapi yang jelas media — dalam pengertian
yang lebih luas– majalah, koran, zine, internet, kaset, dan sebagainya
turut mempunyai andil yang besar. Kita tentu pernah mendengar kenaifan
yang terjadi dalam sebuah scene punk yang berburu koleksi kaset atau
memakai kaos impor yang memampang potret Sid, anggota Sex Pistol, walau
telah dipakai berbilang minggu/bulan dan robek di sana-sini, untuk
menyatakan diri sebagai punker sejati, “the real punker” dalam scene
punk yang tumbuh subur bagaikan jamur di musim hujan. Band-band selalu
meneriakkan kata “Fuck!” dalam setiap gig.
Itulah proses, sekali lagi bagian dari proses, yang yang tumbuh di
Negara Ketiga. Kita memang awalnya menjadi konsumer– memamah
bentuk/gaya/isi yang datang dari luar negeri kita. Kategori Negara
Ketiga juga datang dari sono, sang pemegang hegemoni kultural: Barat,
yang melahirkan budaya mainstream bahkan bahasa mainstream, bahasa
Inggris yang sering kita dengar dan dengan kesadaran penuh juga kita
gunakan.
Perlahan, kita berusaha mengenal siapa sih diri kita, melalui lirik
lagu yang kita ciptakan atawa melalui desain komunikasi visual yang kita
cetak. Awalnya, ketika Marjinal menciptakan lirik lagu dalam bahasa
Indonesia mendapat cemooh dari komunitas underground. Begitu juga dengan
desain-desain Marjinal yang mengangkat kembali Benyamin S yang
dipadukan dengan pose Che Guevara, revolusioner dari Amerika Latin.
Menghidupkan sosok Marsinah, perempuan aktivis buruh yang menjadi korban
fasisme ABRI. Atau menggunakan kata “Ngehe” dalam bahasa pergaulan dan
komunikasi visual. Kita selalu akrab dengan referensi, dari literatur
anarchist, kiri-baru, feminisme, dan seterusnya, dan sebagainya, tetapi
itu hanyalah referensi untuk melihat diri kita diantara umat manusia
sedunia. Kita tidak pernah mengadopsinya secara mentah, tanpa proses
adaptasi dengan budaya lokal, dengan kearifan lokal. Kalau menyimak
lirik lagu Marjinal, sangatlah terang, kita harus belajar dari petani
dan nelayan. Kita harus banyak belajar dari tetangga kita, lingkungan
kita bahkan belajar pada alam-raya. Sehingga keseimbangan tetap terjaga,
dan perubahan menjadi darah dan daging kita. Kita tidak membuat jarak
dengan masyarakat.
Selama sepuluh tahun, Marjinal diterima di tengah masyarakat. Kita
hidup di sebuah rumah di sebuah kampung Betawi, Setu Babakan, dengan
kawan-kawan yang selalu berkunjung dari daerah-daerah di seantero
Tanah-Air. Sebagian besar yang datang adalah street-punk, punk kentrung,
yang datang untuk bekerjasama, bertukar cerita, membuat sablon atau
tato. Kita makan-minum dan tidur di rumah yang sama, tanpa sekat tanpa
pandang bulu. Kita berusaha menunjukkan semua adalah saudara.
Tapi selalu saja ada gosip dan provakasi yang datang atau tumbuh dari
dunia underground. Tapi itu adalah proses, bagian dari dialalektika.
Dan semua itu harus dilalui dengan “bahasa” pembuktian objektif di
lapangan. Satu hal yang kita perlu sadari Kebenaran tidak menghadapkan
dirinya ke Timur atau Barat. Apa yang benar akan tetap benar, yang salah
tetap salah. Janganlah kita membenarkan apa yang salah atau menyalahkan
apa yang benar. Gosip-gosip dalam dunia underground, yang membunuh
karakter kita, memang bertiup kencang akhir-akhir ini. Ada pesan dari
orangtua kita yang patut dicermati: “Semakin tinggi sebuah pohon,
semakin kencang angin menggoyang”.
Sepuluh tahun Marjinal, selalu diikhtiarkan untuk membangun ruang
bermain yang inklusif, setiap orang secara terbuka kita sambut untuk
bekerjasama atau sekedar bertukar pengalaman dan cerita. Begitu banyak
tantangan kita ke depan sehingga secara sadar kita menganggap penting
membangun komunikasi kepada masyarakat.
Media massa, khususnya televisi, telah menyudutkan subkultur punk.
Segala stigma yang negatif dihujamkan pada kita. Cobalah lihat iklan
obat flu yang menggambarkan seorang punker sebagai penyebar virus, atau
pemberitaan koran tentang “Punk Menyerang Musholla” di kota Bogor, yang
tanpa proses verifikasi dan tidak akurat, sehingga puluhan punker
diciduk aparat dan tempat-tempat kegiatan para punker di ruang publik
dibrangus. Atau sebuah acara reality show, “Punk: 7 Hari Menuju
Tobat” dan acara-acara sejenis yang sangat menyudutkan punk. Sampai
saat tulisan ini ditulis, tidak ada reaksi atau perlawanan secara
konkret dari scene-scene punk terhadap pemberitaan atau acara tersebut,
sehingga memberi berita yang berimbang atas fakta-fakta yang sumir
diangkat media massa nasional.
Melihat kenyataan yang tidak adil tersebut, komunitas Taringbabi
dengan sangat sadar dan sesadar-sadarnya, menggunakan media massa untuk
mewartakan hal yang sebenarnya, dengan apa adanya, tentang aktivitas
Taringbabi sehingga masyarakat luas menyadari sesungguhnya apa yang kita
lakukan: dari usaha cetak sablon, program pendidikan/workshop woodcut,
aktivitas band dan menyabarkan wacana punk.
Ketika pihak televisi, RCTI datang ke komunitas Taringbabi meminta
agar kita mau menjadi narasumber sebuah acara bernama “Urban”, kita
dengan sadar memberikan informasi yang apa adanya. Apa yang ditayangkan
Urban dalam durasi 21 menit saat larut malam itu, memang mendapat reaksi
dari pelbagai scene punk di Tanah Air. Sebagian besar memberi dukungan.
Masyarakat luas pun mulai terbuka matanya, khususnya para orangtua yang
mempunyai anak seorang punker. Punker tidak seperti yang digambarkan
media massa selama ini atau dicitrakan iklan obat flu itu. Ada juga yang
menjadi dosen sebuah perguruan tinggi, bekerja sebagai desainer/tukang
cetak, selain bermusik. Kita juga mendukung aktivitas kawan-kawan
street-punk yang hidup di jalan. Sebagai pilihan dari manusia yang bebas
merdeka, kita sangat menghargai pilihan-pilihan setiap individu.
Tapi selalu saja ada yang membuat keruh, dengan menebar SMS (sebuah
media juga lho) yang menganggap Marjinal telah meninggalkan DIY. Para
penyerang mengibarkan bendera anti-media, yang dianggap bagian dari
kapitalisme. Cobalah lihat, bukankah SMS juga adalah bagian dari media
mainstream dan salah satu produk kapitalis? Kita menyayangkan mereka
yang berpikir secara picik, menyebar kebencian untuk kebencian itu
sendiri, tanpa menawarkan sebuah dialog. Bagi kami ini bukan proses pro
dan kontra atau dialektika dalam sebuah dunia undergorund, tetapi sangat
jelas indikasinya pada pembusukan dalam dunia undergound. Kami sangat
prihatin, apabila pembusukan atau racun ini terus mengerogoti tubuh
kita. Karena itu kami dengan sadar menerbitkan KORAN MARJINAL. Media ini
diikhtiarkan untuk membangun informasi yang sehat dan bergizi untuk
kita semua, karena itu terbuka untuk kawan-kawan semua, Jrotz!
Source : koranmarjinal@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar