Jika ada pertanyaan tersulit untuk dijawab hari ini barangkali
pertanyaan mengapa orang-orang tidak marah dengan keadaannya? Mengapa
orang-orang tidak berontak dengan hidupnya yang monoton dan berantakan,
dengan situasi yang banal dan tidak memberikan harapan lebih baik pada
hari esok. Juga dengan kehampaan dan rasa frustasi yang kerap
terselebungi kesibukan serta menguapnya semua impian dan hasrat
terdalam.
Begitu banyak cendekia dan ahli nujum modern yang mencoba menakar
kenyataan ini. Namun kita tahu, selama manusia ditempatkan di bawah
preparat, tak ada satu pun teori yang presisi menebak. Dan kesimpulannya
tidak berkeliaran jauh dari begitu banyak penyederhanaan. Bahwa
musababnya adalah kesadaran yang kurang atau lemah atau bahkan palsu,
pada mereka yang dihisap dan ditindas! Bahwa ini karena kendor atau
punahnya militansi. Dan sebagainya…
Zaman kita adalah zaman dimana informasi dan pengetahuan begitu
berlimpahnya. Ia tidak lagi tersimpan serupa bongkahan emas di dasar
samudera. Ia ada dimana-mana. Dengan begitu, setiap orang dapat memilih
untuk tahu, lalu kemudian bisa sadar dengan kenyataan yang menderanya.
Meski pun kita sama-sama paham, bahwa segala laku untuk membuat orang
tahu dan sadar tetaplah penting –sepenting kita menjalani hidup itu
sendiri, tetapi apakah setiap orang yang tahu dan sadar akan serta merta
marah dan geram pada kenyataan dan dunia yang terbentang di
hadapannya?
Sepanjang sejarah,
banyak ikhtiar yang mencoba mengjungkirbalikkan
dunia. Dan itu berporos pada kesadaran. Fajar budi selanjutnya. Tapi
kita tahu, sejarah yang dicetaknya pun bak labirin tanpa pintu keluar.
Disini kita tahu keterbatasan dari sekedar sadar!
Kita tidak lagi bisa menerjang dunia HANYA dengan mengandalkan
orang-orang dan pijakan yang sadar. Lakon ini tak ubahnya anjing
peliharaan yang menyalak buas saat lapar dan tengkurap dalam
kekenyangan. Toh sekeras apapun gonggongannya, selama ia bergantung pada
persediaan makanan sang majikan, ia tidak akan menggigit si empunya.
Dengan begitu, ia tidak akan pernah bisa ia mengubah dirinya sebagai
peliharaan. Tawanan. Semenawan apapun itu.
Lalu apakah yang tersisa?
Kita harus memulai untuk menyelam dalam diri kita. Membidik sesuatu yang telah lama terusir dalam diri kita : insting! Naluri!
Ia telah lama terkubur oleh peradaban, sesuatu yang berdiri di atas
represi permanen terhadapnya. Ia telah ditaklukkan, dibentuk sedemikian
rupa untuk menyesuaikan dengan gagasan kosmos yang konon disebut-sebut
baru, modern, dan lebih maju. Ia kemudian diekstrak untuk menyisakan
apa yang patut berlaku dalam masyarakat.
Kita kemudian mengunyah-ngunyah sisanya. Tatanan moral. Kontrol
eksternal atas prilaku. Kita lahap semuanya! Jadilah kita
pribadi-pribadi yang paripurna sebagai manusia, tanpa sisa-sisa
kebinatangan. Lagi pula, dalam epik kosmos yang modern itu, manusia mana
yang sudi disebangunkan dengan binatang?
Sementara dalam endapan gagasan yang disebut pergerakan modern
–pergerakan yang hanya menekankan kesadaran dan program politik belaka,
insting malah dicibir. Tidak relevan. Absurd. Berbahaya, kata mereka.
Insting dapat menyulut keliaran, dan yang liar-liar dapat melumerkan
kendali atas mereka yang sedang melakukan perlawanan. Perlawanan seperti
ini sudah lama diwanti-wanti oleh para revolusioner profesional untuk
ditampik dan digasak. Kalau perlu, disediakan liang dan tanah tambahan
hanya untuk membuatnya tidak akan pernah bisa bangkit lagi!
Insting telah lama absen dalam kedirian kita. Ia direnggut oleh
sistem sosial lewat institusi serta moralitas. Ia dicerabut dari diri
kita oleh pranata dan kepercayaan umum.
Ketiadaan insting telah membuat emosi kita begitu cepat, sementara
daya respon begitu lambat. Tanpa insting dasar, kemampuan kita dalam
menanggapi sesuatu yang tidak ideal dalam hidup dan sekeliling kita
menjadi merosot. Kesehatan mental dan spiritual merosot begitu dalam,
menyisakan onggokan daging dan tulang yang sadar.
Jika percaya bahwa kesadaran dan program saja tidaklah cukup, maka
sepatutnya insting dan pula hasrat harus dipupuk kembali. Disuburkan.
Dirawat. Dibiakkan. Agar kita bisa menginstalasi kembali elemen-elemen
kebinatangan dalam diri, untuk dapat melihat dunia dengan lebih
telanjang, peka dan liar.
Dan sekarang, waktunya engkau bertanya : mengapa dirimu tidak marah?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar