Sabtu, 09 November 2013

Mengapa Tidak Marah !

Jika ada pertanyaan tersulit untuk dijawab hari ini barangkali pertanyaan mengapa orang-orang tidak marah dengan keadaannya? Mengapa orang-orang tidak berontak dengan hidupnya yang monoton dan berantakan, dengan situasi yang banal dan tidak memberikan harapan lebih baik pada hari esok. Juga dengan kehampaan dan rasa frustasi yang kerap terselebungi kesibukan serta menguapnya semua impian dan hasrat terdalam.
Begitu banyak cendekia dan ahli nujum modern yang mencoba menakar kenyataan ini. Namun kita tahu, selama manusia ditempatkan di bawah preparat, tak ada satu pun teori yang presisi menebak. Dan kesimpulannya tidak berkeliaran jauh dari begitu banyak penyederhanaan. Bahwa musababnya adalah kesadaran yang kurang atau lemah atau bahkan palsu, pada mereka yang dihisap dan ditindas! Bahwa ini karena kendor atau punahnya militansi. Dan sebagainya…
Zaman kita adalah zaman dimana informasi dan pengetahuan begitu berlimpahnya. Ia tidak lagi tersimpan serupa bongkahan emas di dasar samudera. Ia ada dimana-mana. Dengan begitu, setiap orang dapat memilih untuk tahu, lalu kemudian bisa sadar dengan kenyataan yang menderanya. Meski pun kita sama-sama paham, bahwa segala laku untuk membuat orang tahu dan sadar tetaplah penting –sepenting kita menjalani hidup itu sendiri, tetapi apakah setiap orang yang tahu dan sadar akan serta merta marah dan geram pada kenyataan dan dunia yang terbentang di hadapannya?
Sepanjang sejarah,
banyak ikhtiar yang mencoba mengjungkirbalikkan dunia. Dan itu berporos pada kesadaran. Fajar budi selanjutnya. Tapi kita tahu, sejarah yang dicetaknya pun bak labirin tanpa pintu keluar.
Disini kita tahu keterbatasan dari sekedar sadar!
Kita tidak lagi bisa menerjang dunia HANYA dengan mengandalkan orang-orang dan pijakan yang sadar. Lakon ini tak ubahnya anjing peliharaan yang menyalak buas saat lapar dan tengkurap dalam kekenyangan. Toh sekeras apapun gonggongannya, selama ia bergantung pada persediaan makanan sang majikan, ia tidak akan menggigit si empunya. Dengan begitu, ia tidak akan pernah bisa ia mengubah dirinya sebagai peliharaan. Tawanan. Semenawan apapun itu.
Lalu apakah yang tersisa?
Kita harus memulai untuk menyelam dalam diri kita. Membidik sesuatu yang telah lama terusir dalam diri kita : insting! Naluri!
Ia telah lama terkubur oleh peradaban, sesuatu yang berdiri di atas represi permanen terhadapnya. Ia telah ditaklukkan, dibentuk sedemikian rupa untuk menyesuaikan dengan gagasan kosmos yang konon disebut-sebut baru, modern, dan lebih maju. Ia kemudian diekstrak untuk menyisakan apa yang patut berlaku dalam masyarakat.
Kita kemudian mengunyah-ngunyah sisanya. Tatanan moral. Kontrol eksternal atas prilaku. Kita lahap semuanya! Jadilah kita pribadi-pribadi yang paripurna sebagai manusia, tanpa sisa-sisa kebinatangan. Lagi pula, dalam epik kosmos yang modern itu, manusia mana yang sudi disebangunkan dengan binatang?
Sementara dalam endapan gagasan yang disebut pergerakan modern –pergerakan yang hanya menekankan kesadaran dan program politik belaka, insting malah dicibir. Tidak relevan. Absurd. Berbahaya, kata mereka. Insting dapat menyulut keliaran, dan yang liar-liar dapat melumerkan kendali atas mereka yang sedang melakukan perlawanan. Perlawanan seperti ini sudah lama diwanti-wanti oleh para revolusioner profesional untuk ditampik dan digasak. Kalau perlu, disediakan liang dan tanah tambahan hanya untuk membuatnya tidak akan pernah bisa bangkit lagi!
Insting telah lama absen dalam kedirian kita. Ia direnggut oleh sistem sosial lewat institusi serta moralitas. Ia dicerabut dari diri kita oleh pranata dan kepercayaan umum.
Ketiadaan insting telah membuat emosi kita begitu cepat, sementara daya respon begitu lambat. Tanpa insting dasar, kemampuan kita dalam menanggapi sesuatu yang tidak ideal dalam hidup dan sekeliling kita menjadi merosot. Kesehatan mental dan spiritual merosot begitu dalam, menyisakan onggokan daging dan tulang yang sadar.
Jika percaya bahwa kesadaran dan program saja tidaklah cukup, maka sepatutnya insting dan pula hasrat harus dipupuk kembali. Disuburkan. Dirawat. Dibiakkan. Agar kita bisa menginstalasi kembali elemen-elemen kebinatangan dalam diri, untuk dapat melihat dunia dengan lebih telanjang, peka dan liar.
Dan sekarang, waktunya engkau bertanya : mengapa dirimu tidak marah?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar